CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 22 Januari 2009

BIOGRAFI "Prof Dr HM Roem Rowi, MA"

Prof Dr HM Roem Rowi, MA (02)

Membentuk Karakter di Gontor

Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, segala-galanya bagi M Roem Rowi. Di sanalah dia memperoleh pendidikan watak, rohani, ilmu pengetahuan dan olahraga. Dari Gontor dia memperoleh beasiswa ke Madinah dan Mesir.

Baru usia setahun, Roem Rowi dibawa lari ke sana ke mari oleh orang tuanya untuk bersembunyi dari kejaran dan kekejian para pemberontak komunis (PKI) di Madiun, September 1948. Roem lahir di Ponorogo, 3 Oktober 1947. Bersama orang tuanya, Roem bersembunyi di kebun atau di mana saja agar bisa menyelamatkan diri. Sebab saat itu banyak tokoh agama, ulama dan kiai yang dibantai PKI.


Setelah dewasa, Roem mendengar kisah sedih tetapi agak lucu. Salah seorang Pak De-nya (paman) sangat penakut. Dia tidak berani keluar malam, karena itu tertangkap oleh pemuda-pemuda PKI. Pamannya Roem sudah disiapkan sebuah lobang, menunggu giliran disembelih. Ketika Pak De-nya menunggu giliran, tentara Kodam Siliwangi datang menyelamatkannya. Semula Pak De-nya menolak karena merasa sudah mau dipotong. Belakangan baru dia tahu bahwa yang datang itu tentara Siliwangi, tentara pun bergembira karena dia bersedia ditolong.


Di kampungnya di Ponorogo, Roem masuk kelas satu Sekolah Rakyat (SR), tetapi umurnya belum cukup. Waktu itu namanya SR enam tahun. Ketika masih kelas satu, padahal hanya ikut-ikutan, dinaikkan ke kelas II, tetapi dia menolak. Bapaknya menyuruh mengulang di kelas I. Pagi hari dia sekolah di SR dan sore hari di madrasah (diniyah). Sekolah umum dan agamanya sama-sama tamat.


Setamat SR dan Diniyah, karena masih kecil, dia tidak tahu harus melanjutkan ke mana. Waktu itu dia belum bisa memilih. Memang di kalangan orang tua, waktu itu yang populer Pondok Pesantren Gontor. Dia ditanya oleh ayahnya, apa bersedia dikirim ke Gontor. Sebenarnya dia sendiri tidak mau, tetapi dipaksa oleh ayahnya. Karena itu, ketika mengikuti ujian masuk Gontor, dia sengaja menggarap soal ujian separoh supaya tidak lulus. Tetapi anehnya dia dinyatakan lulus. Biasanya, anak-anak yang tinggalnya berdekatan dengan Gontor, jika lulus diberi kesempatan pulang.


Sewaktu mau berangkat kembali ke Gontor, menjelang subuh, Roem lari dan bersembunyi, karena dia tidak mau masuk Gontor. Dia dicari oleh ayahnya, ketahuan dan dikejar-kejar. Ayahnya yang sedang marah, memberinya hukuman. Paha Roem dipukul dengan tangkai bulu ayam yang terbuat dari rotan, sampai bengkak. Mau tidak mau Roem memenuhi kehendak ayahnya. Dia berangkat ke Ponpes Gontor.


Memandangi bangunan-bangunan di Gontor, bagi Roem kecil seperti melihat penjara. Karena itu hampir setiap bulan dia pulang kampung. Disiplin di Gontor keras sekali, santri, siapa saja yang bandel dihukum. Teman Roem banyak yang dihukum. Pernah sekali dia terlambat kembali ke Pondok.

Mestinya kembali Sabtu, Roem baru sampai di Pondok, Minggu. Dia pun kena sanksi, rambutnya harus dicukur gundul. Karena digunduli, beberapa bulan dia tidak berani pulang kampung, menunggu sampai rambutnya tumbuh panjang.


Di Gontor, Roem satu kelas dengan santri Abdussalam (sekarang Syaykh Ma’had Al-Zaytun Dr Abdussalam Panji Gumilang), mulai tahun pertama sampai tahun terakhir. Pendidikan di Gontor harus enam tahun, dari jenjang tsanawiyah sampai aliyah (SMP-SMA). Setelah enam tahun tamat. Sewaktu mereka tamat, ada persiapan acara peringatan lima windu atau 40 tahun usia Ponpes Gontor. Acaranya cukup besar sehingga anak-anak kelas VI dipercayakan menjadi anggota panitia penyelenggara.


Lantaran menjadi anggota panitia, mereka terlambat tiga bulan keluar dari Gontor. Seharusnya pada bulan Ramadhan, tetapi baru bisa pulang ke kampung masing-masing pada Idul Adha.
Setamat dari Ponpes Gontor, Roem bertemu lagi dengan AS Panji Gumilang di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Mereka satu kelas lagi, satu fakultas lagi.


Di situ, Roem masuk setengah tahun terlambat. Tetapi dia diterima, mungkin karena tamatan Gontor. Dia diterima, dengan catatan, sebagai pendengar. Selesai ujian setengah semester, Roem lulus dan dianggap lulus tes masuk, dan dia diterima resmi sebagai mahasiswa.


Roem tinggal di rumah bibinya, istri dosen IAIN, di kompleks perumahan dosen IAIN Ciputat. Sedangkan AS Panji Gumilang tinggal di Situ Gintung (Ciputat), sekarang wisma Muhammadiyah Cirende. Roem hanya kuliah setengah tahun di IAIN karena lolos untuk mendapatkan beasiswa di Universitas Islam Madina, Arab Saudi.

Gemar Olahraga
Kembali kisah ketika di Gontor. Di Gontor memang segala-galanya ada, mau olahraga disediakan waktu khusus. Ketika jam olahraga selesai dan bel berbunyi, Roem dan teman-temannya masih asyik berolahraga, terlambat kembali ke kelas. Roem kembali dihukum gundul. “Memang di Gontor, pendidikan keagamaan dan karakter sangat keras,” kata Roem dalam wawancara dengan Tim Wartawan Majalah Tokoh Indonesia, di kantornya di Masjid Al-Akbar, Surabaya, Jawa Timur.


Hobi Roem, berolahraga sepakbola sebagai penjaga gawang, bola voli dan badminton. Hobi utamanya main badminton. Sewaktu kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir, dia juara badminton seluruh mahasiswa Asean plus Mesir. Dia pernah mengalahkan juara Malaysia, Thailand dan Indonesia yang lama. Roem juga pernah ikut kompetisi bola voley di Negeri Belanda bersama teman-teman mahasiswa Indonesia. Mereka tidak memperoleh juara karena tidak profesional.


Suatu saat dia pernah mengikuti kejuaraan daerah sepak bola antardesa se-Kabupaten Ponorogo. Tim kampungnya ikut dan jadi juara. Saat itu dia terpaksa meninggalkan Gontor, karena ikut kompetisi sepakbola, tetapi minta izin di sekolah ada urusan keluarga. Ternyata waktu final, wakil direktur Gontor ikut nonton. Teman-teman sekelas dan guru-guru juga ikut nonton. Sewaktu kembali ke Gontor, dia ditegur oleh Wakil Direktur Gontor: “Ternyata kejuaraan daerah lebih penting dari Gontor.” Roem disindir karena bermain olahraga lebih penting dari sekolah di Gontor.

Monyet Curi Pacul
Sewaktu duduk di kelas VI, dia (setiap santri) diwajibkan praktik mengajar. Sebernarnya dia juga menginginkannya. Dia praktik mengajar di kelas II. Tetapi teman-teman sekelasnya ikut masuk untuk menilai, mengkritik dan sebagainya. Roem sebenarnya ingin praktik mengajar bahasa Arab, tetapi tidak diperbolehkan. Dia diharuskan praktik mengajar bahasa Inggris. Karena tidak ada pilihan, dia terpaksa menerimadan melakoninya.


Pemberitahuan dari guru kelas waktu praktik mengajar pagi hari, keesokan paginya harus mengajar. Roem pun kelabakan untuk mempersiapkan diri, karena waktunya sangat singkat menyiapkan bahan-bahan untuk praktik mengajar. Dia terpaksa tidak tidur semalaman. Karena bahan-bahan tersebut harus ditulis tangan, belum ada komputer dan mesin foto-kopi. Menulisnya satu persatu, tidak boleh pakai karbon. Kalau diberitahu seminggu sebelumnya, dia pasti bisa leluasa persiapkan materi pelajarannya.


Namun demikian, Roem, sehabis praktik mengajar bahasa Inggris, mendapatkan nilai yang baik, meskipun belum termasuk yang terbaik. Komentar gurunya, Pak Zarkasih, yang diingatnya sampai sekarang, pepatah dalam bahasa Jawa: ketek nyolong petel (monyet curi pacul). Roem sendiri tak tahu artinya yang sesungguhnya. Intinya, hasilnya di luar dugaan.

Tak Betah di Pondok
Roem memang praktis tidak betah tinggal di Pondok secara permanen. Dengan segala alasan dia berusaha tinggal di luar. Hal ini dilakukannya mulai kelas IV. Dia tinggal di sebuah rumah, dekat masjid, yang jaraknya kira-kira setengah kilometer dari Pondok. Santri asal Ponorogo, waktu itu memang boleh tinggal di luar pondok.


Sampai kelas VI, ada pemeriksaan, ketahuan. Malam itu juga dia diwajibkan masuk ke pondok. Saat itu ada pengarahan dari pimpinan Gontor. Roem dipanggil maju ke depan kelas. Setelah ketahuan tinggal di luar pondok, dia digembleng habis, harus masuk pondok. Akhirnya dia masuk pondok. Namun Roem masih mencari akal. Roem tidak benar-benar masuk ke pondok, tetapi berpura-pura tinggal di Perdos (Perumahan Dosen) yang masih setengah jadi. Jadi, setiap hari dia muncul di situ, setiap ada pemeriksaan keliling dia ada di situ. Padahal malam harinya dia menghilang.

Dambakan Beasiswa
Masih soal keberadaan Roem di Gontor. Tahun 1962 ada dua guru muda. Mereka berdua akan diberangkatkan ke Madinah, Saudi Arabia. Yang satu orang Madiun dan satu lagi dari Balong, Ponorogo. Mereka sudah diumumkan akan dikirim ke Madinah. Dan saat itu kedua santri kelas VI itu sudah mengajar di Tsanawiyah (SMP). Roem saat itu masih duduk di bangku Tsanawiyah (SMP). Jika kedua santri (guru) itu melewati mereka, para santri remaja meniru cara mereka jalan. Soalnya, para santri remaja ingin sekali mendapat kesempatan seperti kedua santri tersebut.


Mereka mendambakan beasiswa seperti itu, tetapi rasanya tidak mungkin. Ternyata setelah sekian tahun, kedua santri tersebut belum juga berangkat ke Madinah. Bahkan satu dari kedua guru tersebut tidak jadi berangkat sampai sekarang. Roem tidak tahu kenapa.


Namun Roem, bersama tiga temannya, malah duluan memperoleh beasiswa yang mereka impikan. Roem termasuk yang paling kecil di antara mereka.


Beasiswa itu ditawarkan Pusat Rohani Angkatan Darat yang dipimpin oleh paman Roem sendiri, Mayjen Mukhlas Rowi. Waktu itu dia belum lama menjadi mahasiswa di IAIN Syarif Hidayatullah. Mereka ditawari beasiswa ke Universitas Islam Madinah, Arab Saudi. Dari enam orang yang terdaftar, ternyata yang diterima hanya empat orang.


Saat itu, Ponpes Gontor setiap tahun mendapat jatah empat santri ke Madinah. Setelah menamatkan kuliah di sana, mereka ditawari menjadi imam tentara. Mereka diberi prioritas. Namun tak satu pun dari mereka yang menerima tawaran tersebut. Padahal pamannya Roem, Kepala Pusroh AD.


Kenapa Roem tidak mau menerima tawaran tersebut? Rupanya sebelum berangkat ke Madinah, mereka menginap dikediaman Mayjen Mukhlas di Cikini Raya. Setiap sarapan pagi, pamannya masih mengenakan sarung dan kaus oblong, tetapi ajudannya harus memberi hormat tentara kepadanya. Roem merasa tak sanggup jika ditunjuk menjadi ajudan pamannya. Dia tidak sanggup mengenakan seragam tentara dan berdisiplin kaku seperti tentara.


Sepulang dari Kairo, Roem harus menggantikan peran ayahnya yang meninggal tahun 1974. Semasa hidupnya, ayah Roem seorang pensiunan prajurit yang beralih jadi petani. Roem anak tertua dari sepuluh bersaudara. Ketika ayahnya meninggal, delapan adiknya masih duduk di bangku SMA turun sampai SD. Tetapi adiknya nomor dua sekolah di Aljazair. Roem diangkat jadi dosen tetap tahun 1997, setelah mengajar secara honorer dari tahun 1974.


Dia sendiri menikah terlambat dengan seorang mahasiswinya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya, tahun 1980. Roem merasa bangga sekali bisa membiayai pendidikan kelima putranya, dan sembilan adik menjadi orang-orang yang sukses.

0 komentar: